Selasa, 29 April 2014

Judika - Apakah Ini Cinta

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 18.09 0 komentar


Di saat malam langit tanpa bintang
Coba menggoyahkanku
Merapuhkanku di sini
Ku coba tegar kini
Tanpa dirimu kasih
Yang selalu menemani

Cintaku kau abaikan
Kau beri air mata
Apakah ini cinta

Bila tak selamanya kita bisa bersama
Haruskah menunggumu di sini
Dan bila selamanya kita bisa bersama
Ku simpan cinta ini

Ku coba bangkit
Walaupun kini hatiku penuh luka
Dan kau goreskan di dada
Teringat janji dulu
Takkan pernah berpisah
Walau sedetik saja

Cintaku kau abaikan
Kau beri air mata
Apakah ini cinta

Bila tak selamanya kita bisa bersama
Haruskah menunggumu di sini
Dan bila selamanya kita bisa bersama
Ku simpan cinta ini

(Apakah ini cinta) apakah ini cinta
(Apakah ini cinta) cinta cinta
(Apakah ini cinta) cinta
(Apakah ini cinta)
Cintaku kau abaikan
Apakah ini cinta, cinta

Bila tak selamanya kita bisa bersama
Haruskah menunggumu di sini
Dan bila selamanya kita bisa bersama
Ku simpan cinta ini

Rabu, 23 April 2014

Piyu - Jernih (ft. Wafda)

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 15.24 0 komentar

Kau memiliki kecantikan sejernih mata air
Dari puncak yang tertinggi di atas bumi ini
Kau memercikkan cinta yang tak bisa ku ungkapkan
Hingga ku pun menunda-nunda tuk bisa menyatakannya

Rasa yang hebat tepat menghantam jantung hati
Tak ada yang bisa melawan jika begini
Apakah ada yang salah jika harus jatuh cinta padamu
Apakah memang tak benar jika ternyata kucinta padamu

Kau memiliki kecantikan sejernih mata air
Dari puncak yang tertinggi di atas bumi ini
Kau memercikkan cinta yang tak bisa ku ungkapkan
Hingga ku pun menunda-nunda tuk bisa menyatakannya

Rasa yang hebat tepat menghantam jantung hati
Tak ada yang bisa melawan jika begini
Apakah ada yang salah jika harus jatuh cinta padamu
Apakah memang tak benar jika ternyata kucinta padamu

Apakah ada yang salah jika harus jatuh cinta padamu
Apakah memang tak benar yeah jika ternyata ku cinta padamu
Apakah ada yang salah jika harus jatuh cinta padamu
Apakah memang tak benar jika ternyata ku cinta padamu

Cinta padamu, jika ternyata ku cinta padamu
Apakah ada yang salah jika harus jatuh cinta padamu
Apakah memang tak benar jika ternyata kucinta padamu

                            ♥ Lotta Lova ♥

Sabtu, 19 April 2014

Brian MCKnight Lyrics - Marry Your Daughter

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 14.40 0 komentar


Sir, I'm a bit nervous
'Bout being here today
Still not real sure what I'm going to say
So bare with me please
If I take up too much of your time,
See in this box is a ring for your oldest
She's my everything and all that I know is
It would be such a relief if I knew that we were on the same side
Very soon I'm hoping that I...

Can marry your daughter
And make her my wife
I want her to be the only girl that I love for the rest of my life
And give her the best of me 'till the day that I die, yeah
I'm gonna marry your princess
And make her my queen
She'll be the most beautiful bride that I've ever seen
I can't wait to smile
When she walks down the isle
On the arm of her father
On the day that I marry your daughter
She's been hearing for steps
Since the day that we met (I'm scared to death to think of what would happen if she ever left)
So don't you ever worry about me ever treating her bad
I've got most of my vows done so far (So bring on the better or worse)
And tell death do us part
There's no doubt in my mind
It's time
I'm ready to start
I swear to you with all of my heart...

I'm gonna marry your daughter
And make her my wife
I want her to be the only girl that I love for the rest of my life
And give her the best of me 'till the day that I die, yeah
I'm gonna marry your princess
And make her my queen
She'll be the most beautiful bride that I've ever seen
I can't wait to smile
As she walks down the isle
On the arm of her father
On the day that I marry your daughter

The first time I saw her
I swear I knew that I say I do
I'm gonna marry your daughter
And make her my wife
I want her to be the only girl that I love for the rest of my life
And give her the best of me 'till the day that I die
I'm gonna marry your princess
And make her my queen
She'll be the most beautiful bride that I've ever seen
I can't wait to smile
As she walks down the isle
On the arm of her father
On the day that I marry your daughter

Daniel Bedingfield - If You're Not The One

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 14.31 0 komentar

If you’re not the one then why does my soul feel glad today?
If you’re not the one then why does my hand fit yours this way?
If you are not mine then why does your heart return my call
If you are not mine would I have the strength to stand at all

I'll never know what the future brings
But I know you're here with me now
We’ll make it through
And I hope you are the one I share my life with

I don’t want to run away but I can’t take it, I don’t understand
If I’m not made for you then why does my heart tell me that I am?
Is there any way that I can stay in your arms?

If I don’t need you then why am I crying on my bed?
If I don’t need you then why does your name resound in my head?
If you’re not for me then why does this distance maim my life?
If you’re not for me then why do I dream of you as my wife?

I don’t know why you’re so far away
But I know that this much is true
We’ll make it through
And I hope you are the one I share my life with
And I wish that you could be the one I die with
And I pray in you’re the one I build my home with
I hope I love you all my life

I don’t want to run away but I can’t take it, I don’t understand
If I’m not made for you then why does my heart tell me that I am
Is there any way that I can stay in your arms?

‘Cause I miss you, body and soul so strong that it takes my breath away
And I breathe you into my heart and pray for the strength to stand today
‘Cause I love you, whether it’s wrong or right
And though I can’t be with you tonight
You know my heart is by your side

I don’t want to run away but I can’t take it, I don’t understand
If I’m not made for you then why does my heart tell me that I am
Is there any way that I could stay in your arms

Wafda Saifan Lubis "Volume" - Lebih Dari Indah

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 13.44 0 komentar

Banyak yang bilang kamu lucu
Menurutku.. lebih dari itu
Banyak yang bilang kamu cantik
Menurutku.. lebih dari itu

Kamu.. kamu lebih dari indah
Kamu lebih dari segala-galanya
Membuatku tersenyum bahagia

Kamu lebih dari indah
Kamu lebih dari segala-galanya
Membuat aku jadi jatuh cinta


Minggu, 13 April 2014

Tidak Bisa Memiliki - By. EghaLatoya

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 05.26 0 komentar

Aku selalu bersama kamu setiap hari, tanpa adanya jeda. Aku sangat menyayangi kamu, lebih. Aku lebih dari membutuhkan kamu. Kamu seperti angin, selalu ada denganku, selalu aku butuhkan, sangat aku butuhkan, tapi tidak terlihat nyata, tidak bisa aku sentuh. Aku tidak tau benar, kamu menyayangiku atau tidak. Yang jelas aku menyayangi kamu lebih, setiap aku melihat kamu dari kejauhan. Aku hanya bisa menyebut lirih nama kamu, mungkin aku mampu berteriak menyebut nama kamu. Tapi tidak untuk saat ini, saat ini aku cukup lirih menyebut nama kamu dari kejauhan dengan senyum kecilku yang penuh kesakitan "aku sayang kamu luar biasa". Mungkin aku akan berteriak memanggil nama kamu saat terakhir kali aku memutuskan untuk berhenti, berhenti mencintai kamu. Pergi dari semuanya, semua tentang kamu, walaupun sebenarnya aku tidak mau berhenti mencintai kamu. Setidaknya dengan tidak bisa memiliki kamu aku tau rasanya berharap dari sebuah hal yang tidak begitu menginginkan aku. Terimakasih untuk rasa ini, aku bahagia mencintai kamu. Maaf, suatu saat aku harus berhenti mencintai kamu.

Biarkan Aku Mencintai Kamu

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 05.08 0 komentar

Biarkan aku mencintai kamu, sekalipun bukan aku orang yang kamu cintai. Biarkan aku mencintai kamu, sekalipun bukan aku orang yang kamu inginkan. Biarkan aku mencintai kamu, sekalipun bukan aku orang yang kamu impikan. Biarkan aku mencintai kamu, sekalipun bukan aku orang yang kamu ingin bahagiakan. Biarkan aku mencintai kamu, sekalipun bukan aku orang yang ingin kamu jadikan sebagai masa depanmu. Biarkan aku mencintai kamu, sekalipun bukan aku orang yang ingin kamu perjuangkan. Biarkan aku mencintai kamu, sekalipun bukan aku orang yang selalu ada dipikiran kamu.  Biarkan aku mencintai kamu, sekalipun bukan aku orang yang selalu ada di setiap doa-doa kamu. Biarkan aku mencintai kamu, karena aku tidak pernah lelah untuk itu. Biarkan aku mencintai kamu, karena dengan itu aku merasa menemukan suatu kenyamanan. Biarkan aku mencintai kamu, sekalipun aku tidak bisa membahagiakan kamu. Biarkan aku mencintai kamu, sekalipun aku tidak bisa menyentuh kamu. Biarkan aku mencintai kamu, sekalipun bukan aku orang yang menemani hari-hari indahmu. Biarkan aku mencintai kamu, karena dengan itu aku merasa Tuhan mencintaiku tanpa syarat. Biarkan aku mencintai kamu, Biarkan aku mencintai kamu. Biarkan aku membahagiakan kamu. Sampai semua tentangku telah berakhir. Biarkan aku mencintai kamu, walaupun kamu tidak pernah inginkan itu.

Masih Seperti Kemarin - By. EghaLatoya

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 04.02 0 komentar

Apabila ada seseorang bertanya padaku, besok, atau kelak. Siapa yang aku sayangi. Aku akan menjawab "masih seperti kemarin", aku menjawab seperti itu karena aku tidak mau terlalu banyak menyebut namamu didepan orang banyak. Masalahnya aku terlalu sering, hampir setiap hari menyebut namamu dalam doaku. Aku selalu berdoa, semoga kita adalah doaku yang dikabulkan oleh Tuhan. Mendoakanmu adalah caraku mencintaimu, aku tidak bisa berkata apa-apa dan berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berdoa dan selalu setia mencintai kamu. Hanya itu.. Detik ini sampai detik terakhir selalu masih seperti kemarin. Yah.. Masih seperti kemarin. Selalu kamu.

Tidak Salah, bukan ? - By. EghaLatoya

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 04.00 0 komentar

Kita semakin menggenggam erat tangan kita, sekalipun ada pasir di antara genggaman tangan kita. Kata orang, semakin kuat kita menggenggamnya, akan semakin hilang pasirnya. Tapi tidak dengan kita, pasir itu bagai "kita", yang memang bebar-benar harus dijaga. Memang, semakin erat genggaman, pasir akan semakin habis. Tapi, kita menguatkan genggaman untuk tidak membiarkannya habis, satu tangan kita untuk menggengam, satunya lagi untuk menutup celah yang membuat pasir keluar dari genggaman. Itu seperti perjuangan kita sekarang. Tidak ada yang salah, bukan? Memperjuangkan sesuatu yang memang pantas untuk diperjuangkan? Tidak salah bukan, kamu duduk di teras masjid untuk menungguku untuk sholat 2,3, atau 4 rakaat dan berdoa untuk kita sebentar? Tidak salah bukan, aku menunggu kamu beribadah di gereja. Aku duduk di kursi kayu, tepatnya dibawah pohon rindang yang membuatku nyaman. Tuhan mendengarkan doa kita. Kita, beda yang berjuang untuk menjadi satu.

Menyedihkan, bukan ? - By. EghaLatoya

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 03.58 0 komentar

Kamu pernah, merasakan sayang luar biasa kepada seseorang? Kamu pernah, merasa menemukan seseorang yang selama ini kamu tunggu, kamu cari? Kamu pernah, merasa sangat nyaman ketika kamu jauh atau lagi dekat dengan seseorang itu? Kamu pernah, merasa takut apabila harus jauh atau berpisah dengan seseorang itu? Kamu pernah membayangkan jika kamu tanpa seseorang yang kamu sayangi? Kamu pernah, membayangkan bagaimana nanti kamu akan mengenang seseorang itu? Apabila ada yang bertanya denganku, aku akan menjawab "sedang". Aku sedang merasakan itu. Aku takut.. Hal yang paling aku takuti adalah hal yang aku takuti itu terjadi dan itu pasti sangat menyakitkan. Menyakitkan.. Menyakitkan adalah kita yang sedang merasakan sayang-sayangnya kepada seseorang, tapi tiba-tiba harus berpisah atau ditinggal pergi untuk selamanya. Tapi itu semua adalah takdir, dan bagiku takdir yang paling menyakitkan adalah kita harus dipisahkan oleh takdir. Entah takdir karena takdir, perbedaan atau kematian. Aku selalu menunggu, menunggu dimana nanti aku akan dikenang oleh kamu. Dan yang aku tau, setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk mengenang seseorang. Mungkin, kita akan melihat senja setiap kita teringat tentang "kita", walaupun ditempat yang berbeda. Dan ini hal yang paling menyesakkan, kita saling merindu namun tidak bisa melakukan apa-apa karena keadaan. Menyedihkan, bukan?

Tentang Senja

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 03.47 0 komentar

Senja menari dan bernyanyi dalam damai
Ku tersenyum mengingatmu
Memendam rindu didalam hati
Tak pernah terlupakan olehku

Begitu indah dunia ku lalui denganmu
Setiap langkahku adalah langkahmu
Setiap mimpimu adalah mimpiku

Engkau tersenyum padam laksana senja
Didalam hatiku, kau selamanya akan hidup
Namun sekarang kau begitu damai disisiNya

Aku bermimpi tentang sebuah cerita kehidupan yang begitu manis
Namun aku harus mengalah dengan senja
Dan sebuah babak baru telah dimulai

Puisi Untukmu

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 03.46 0 komentar

Bulan berseri menghiasi malam ini
Kau berikan damai dihati ini
Engkau disana tak perlu bersedih hati
Tak perlu menangis lagi

Biarkan mengalir dalam hati
Kau berikan rasa ini yang tak terhingga
Sampai nanti, hingga kau tersenyum dan bermimpi tentang kita

Karena kamulah ratu dihati ku
Yang selalu hidup disetiap hela nafas ku
Yang tak pernah berakhir, sampai Tuhan mnyelesaikannya

Dan aku yang selalu merindukan hangat perhatianmu
Rindu yang begitu dalam
Hingga hanya mampu merangkai beberapa tulisan untukmu

Indonesia Jaya - Cipt : Liliana Tanoesoedibjo - Artist : Citra Scholastika, Fatin Shidqia Lubis, Ayu Tingting, Petra Sihombing, Agus Hafiludin, Bagas, Difa, Chelsea, Angel Pieters

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 01.28 0 komentar

Indonesia tanah kelahiranku
Nan indah permai kebanggaanku
Disini ku berdiri ikrarkan janji
Olehmu negeriku suci nan abadi

Negeriku jayalah bangsaku slalu
Engkaulah yang ku cinta
Segenggam harapan sejuta mimpi
Ingin ku abdikan  padamu negeriku

Adil makmur
Untuk mu indonesia

Jayalah negeriku bangkitlah bangsaku
Angkatlah panjimu satukan mimpimu
Yang tak akan padam menggapai cita
Adil dan makmur sejahtera indonesia

# 2x
Jayalah negeriku Bangkitlah bangsaku
Angkatlah panjimu Satukan mimpimu
Yang tak akan padam Menggapai cita
Adil dan makmur Sejahtera indonesia

Sabtu, 12 April 2014

Regenerasi Dalang, Masalah yang Masih Mengitari

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 18.59 0 komentar

Ada tanda-tanda menggembirakan pada dasawarsa terakhir ini, semenjak beberapa daerah muncul sejumlah generasi muda, bahkan anak-anak, yang bersemangat untuk menjadi dalang, sebagai pilihan profesi mereka. Hal ini dapat dilacak langsung di beberapa pentas pakeliran di sejumlah kawasan dan berbagai bentuk festival dalang; yang diselenggarakan secara rutin atau pereodik di beberapa kota seperti: Surabaya, Surakarta, dan di wilayah DKI.

Kondisi yang menggembirakan tersebut untuk sementara memberikan kesejukan bagi orang-orang yang digelisahkan oleh adanya gelombang nilai-nilai baru serta akibat globalisasi. Ada kekhawatiran pertunjukan wayang akan mati, sebab sebagian besar anak muda sekarang sudah tidak lagi terkondisi di dalam budaya Jawa. Yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya distorsi nilai dalam pertunjukan wayang, yang juga disebut dengan pakeliran itu.

Roh atau spirit wayang sudah meninggalkannya, sebab sudah diangslupi oleh keinginan-keinginan atau nafsu-nafsu duniawi dalam hampir semua pentas sekarang. Pembesaran dan penjamakan perabot wayang dan gamelan sekarang tidak diimbangi dengan kecerdasan kreatif lagi. Pertanyaannya adalah, kira-kira memiliki motivasi apa mereka (anak muda) bersemangat menjadi dalang? Motivasi ini, secara sadar atau tidak, sering terungkap dalam pakeliran mereka, seperti: agar kelak dapat menjadi dalang seperti dalang kondang yang menjadi idola masing-masing. Motivasi mereka yang lain, meski bersifat klise, yang inyinua adalah kepengin ikut melestarikan seni tradisi yang adi luhung, warisan nenek moyang yang sudah berusia berabad-abad.

Di masa lampau, regenerasi dalang ini berjalan secara alami. Dalam arti, secara tidak langsung, anak dalang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan dalang, lazimnya terkondisi serta berpotensi untuk menjadi dalang. Diawali dari sekedar meniru-niru apa yang dilakukan dalang senior, seperti dalam hal melagukan suluk, menggerakkan wayang atau sabet, dan mengucapkan beberapa dialog atau janturan pocapan. Setelah berani dan dinggap pantas, bakalan dalang ini diberi kesempatan untuk pentas mucuki, yaitu mayang sebelum orang tua mereka, atau dalang lain, menyajikan pakeliran yang utama.

Di masa lalu juga, mucuki ini biasanya dilakukan beberapa kali, setelah dianggap layak, anak dalang ini mendapat kesempatan untuk mendalang di waktu siang, lengkap satu lakon, meski repertoar masih terbatas. Setelah mendapat pujian, dorongan motivasi, dan juga tidak jarang mendapat umpatan dan cemooah orangtua mereka jika melakukan kesalahan. Misalnya: matamu apa ora nyawang, gobogmu apa budheg, mula gatekna yen bapak lagi mayang. Yang intinya supaya si anak benar-benar memperhatikan saat orangtua mereka sedang mendalang. Oleh sebab itulah, pada umumnya, pakeliran yang dilakukan anak tidak mungkin menyimpang dari apa saja saja yang dilakukan oleh orang tuanya. Dari hal yang paling kecil sampai hal-hal yang bersifat mendasar. Mulai dari cara berbusana, warna suara, teknik serta cara pergelaran wayang atau pakeliran suluk, sabet, antawacana, janturan, pocapan, perbendaharaan gendhing dan keprakan, dhodhogan) sampai bentuk humor, garapan alur ceruta, wacana yang dikembangkan, dan sebagainya.

Setelah mendapat pengakuan dari berbagai pihak, anak dalang ini selanjutnya dipercaya untuk mendalang secara utuh di malam hari. Jika anak sudah semakin dewasa dan mandiri menjadi dalang, pewarisan jagat wayang berjalan mulus, orang tua secara pelan-pelan mulai menikmati masa pensiunnya, menjadi dalang ruwat sampai ajal menjemput. Dikatakan menikmati masa pension, sebab sebagian besar persyaratan sesaji untuk menyelenggarakan ruwatan dapat dipandang sebagai nafkah utama bagi dalang sepuh; berbagai jenis unggas (sepasang ayam, sepasang itik, dan lain-lain), bermacam-macam corak dan atau motif kain (jarit), dan sebagainya.

Cara pewarisan pedalangan secara tradisional, seperti yang disampaikan di muka, dinamakan model ngenger dan nyantrik. Ngenger, adalah seperti berguru pada dalang lain. Anak didik menerima pelajaran tidak secara langsung, berbeda dengan sistem pembelajaran kelas. Calon dalang diwajibkan mengikuti ke mana pun saat sang guru mendalang. Lebih dari itu, si anak juga membantu dan melakukan pekerjaan rumah tangga; seperti momong (mengurus anaknya sang guru), bercocok tanam, membersihkan halaman, mengisi bak kamar mandi, dan mengawal gamelan wayang untuk pentas, serta juga menjadi pengrawit.

Nyantrik, merupakan model pembelajaran tradisional, selain mengikuti sang guru mendalang, di rumah sang cantrik mendapat pelajaran mendalang secara khusus di rumah guru. Perbedaan yang mencolok dengan model ngenger hanya terletak pada beban kerja tambahan. Dalam model ini sang murid tidak diharuskan mengerjakan tugas-tugas kewajiban rumah tangga. Hasil dari model ini ini lazimnya lebih cepat dibandingkan dengan yang melalui model ngenger. Baik model ngenger maupun nyantrik cenderung menggunakan tradisi lisan. Bahkan semacam ada larangan untuk mencatat. Seorang calon dalang pada umumnya tidak hanya ngenger dan nyantrik pada seorang guru saja. Mereka dapat memilih sejumlah dalang semior yang menjadi idola mereka. Mereka berguru tidak hanya kepada satu dalang, disebabkan sangat langka mencari dalang yang memiliki kemampuan yang sempurna di segala bidang teknik pakeliran. Sehingga, dapat terjadi di bidang catur berguru pada dalang A, bidang lakon kepada dalang B, bidang pendramaan kepada dalang C dan seterusnya.

Semenjak tahun 1923, berdirilah tempat pembelajaran dalang di beberapa kota, seperti Padhasuka akronim dari Pasinaon Dalang Surakarta dan PDMN singkatan dari Pasinaon Dalang Mangku Nagaran (keduanya di Surakarta) serta Habirandha singkatan dari Hamurwani Biwara Rancangan Dalang (Yogyakarta), merupakan bentuk lanjut pewarisan dalang. Ketiga tempat itu didirikan oleh pihak kerajaan. Sebagian peserta didik adalah anak dalang yang sudah memiliki bekal cukup, bahkan banyak yang sudah kerap mendalang di masyarakat sekitar. Para guru dipilih dari para empu ahli pedalangan keraton, seperti Ki Dutadipraja, Ki Nayawirangka, Ki Redisuta, Ki Kodrat, dan Ki Wiradat.

System pembelajaran di tempat-tempat kursus ini sebagian masih merupakan bentuk lanjutan model nyantrik, yaitu para murid lebih banyak menirukan apa yang dilakukan oleh guru-gurunya. Di ketiga tempat belajar mendalang ini mulai dikenal tradisi tulis, teks sederhana merupakan panduan teknik (yang kemudian terkenal dengan istilah pakem). Pakem yang semula sebagai acuan calon dalang, di luar menjadi bahan perbantahan yang belum usai, meliputi: teks cerita, petunjuk dasar teknis pakeliran, dan silsilah para tokoh wayang. Pada kenyataannya, yang jarang dipahami khalayak luas, di setiap tempat dan waktu memiliki pakem masing-masing. Di luar waktu belajar, para siswa mendapat banyak kesempatan untuk membaca berbagai koleksi buku susatra wayang dan budaya yang rekevan dengan dunia wayang. Oleh sebab itulah, para alumnus dari sekolah-sekolah ini, rata-rata memiliki kemampuan berbahasa wayang secara unggul. Mereka itu di antaranya: Ki Pujasumarta, Ki Tiksnasudarsa, Ki Kiyatdiharja, Ki Gandamijoyo (Maktal), Ki Wignyasuswastra, Ki Gitasewaka, Ki Sujarna Atmagunarda, Ki Sutina Hardacarita, dan masih banyak lagi yang sebagian besar sudah meninggal. Di luar tembok keraton, selain masih ada yang melanjutkan model nyantrik (seperti di Ceper dan Pengging misalnya), juga berdiri berbagai kursus dalang yang mengacu pada ketiga lembaga resmi di atas.

Tempat-tempat kursus dalang itu konon menebar di berbagai kota, seperti Semarang, Magelang, Surabaya, Madiun, Nganjuk, Malang, dan Jakarta. Guru-guru kursus pedalangan ini lazimnya merupakan alumni dari Padhasuka, Habirandha, dan PDMN. Masa suburnya tempat kursus dalang ini berkisar antara tahun 1940 sampai dengan sekitar akhir tahun 60-an. Kalau sekarang masih ada beberapa tempat sanggar pembelajaran dalang, mungkin tidak teramati penulis. Kursus-kursus pedalangan itu rata-rata menerima murid sekitar sepuluh orang, terdiri atas anak dalang atau pecinta wayang dari berbagai kawasan. Kemudian hari di antara mereka menjadi dalang lokal, ada yang sangat popular seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedharsono, Ki Cermosutejo (Yogyakarta), Ki Harsono (Magelang), Ki Suruno (Surabaya), dan almarhum Ki Hari Bawono (Lumajang). Tentu saja masih banyak lagi dan bertebaran di berbagai daerah, dengan tingkat popularitasnya masing-masing. Sedangkan para dalang, yang pernah menduduki popular puncak, dari model ngenger danatau nyantrik, di antaranya adalah Ki Kandhalesana (Klaten), Ki Nyatacarita (Kartasura), Ki Nartasabda (Semarang), Ki Gandabana (Madiun) Ki Gandasudarsana/Darman (Kedungbanteng, Ngawi), Ki Naryacarita (Kartasura), Ki Timbul Cermamanggala (Bantul, DIY), Ki Hadisugita (Kulonprogo), Ki Gito Purbocario (Banyumas), Ki Gino Siswocarito (Banyumas), Ki Mujaka Jakaraharja (Gombang, Boyolali), Ki Wajiran (Pengging, Boyolali), Ki Kesdik Kesdalamana (Klaten), Ki Sutikna Slamet (Klaten), Ki Catur Tulus (Kartasura), Ki Suwaji (Begadung, Nganjuk) dan Ki Harjunadi (Kota Nganjuk), serta Ki Sakri (Madiun).

Semua nama yang disampaikan ini sayang sebagian besar sudah meninggal. Sejumlah nama dalang terkenal yang disebut di atas, biasanya memiliki cara khas dalam menyajikan pakeliran. Apabila cara khas ini banyak yang menirukannya, kemudian menjadi sebuah masjab tersendiri, yang di kalangan dalang sering terjadi salah kaprah disebut dengan cengkok atau gagrak.

Penulis mempunyai asumsi, kemungkinan besar munculnya gaya dan atau subgaya tertentu lahir dari cara khas dalang tersohor di suatu daerah, yang memiliki wilayah pengaruh di kawasan daerah tertentu Kontinyunitas pewarisan budaya wayang terus berlanjut. Selaras dengan perkembangan negeri ini, pada tanggal 27 Agustus 1950 di Surakarta oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan didirikan Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta (sekarang menjadi SMKN 8 Surakarta). Dari sinilah munculnya system pendidikan klasikal pedalangan. Para siswa tidak hanya mendapat pelajaran mendalang, tetapi juga pengetahuan dan praktik bidang seni tradisi yang lain (karawitan dan tari). Dalang yang paling terkenal dari lulusan Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta adalah Ki Panut Sosro Darmoko (89 tahun, dari Nganjuk). Belakangan diketahui bahwa dalang yang satu ini, selain keturunan dalang, dalam kurun waktu bersamaan Ki Panut Sosro Darmoko, juga mengikuti kursus pedalangan yang diselenggarakan KKKS (Kursus Kesenian Keraton Surakarta) dan HBS (Himpunan Budaya Surakarta) untuk memperdalam kemahirannya di dalam dunia pedalangan. Pada tanggal 14 Juli 1964 di Surakarta berdiri ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Surakarta, sekarang (2008) menjadi Institut Seni Indonesia Surakarta. Pada awalnya, seperti halnya di Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta, pengetahuan dan praktik pedalangan masih diberikan kepada seluruh mahasiswa. Baru sejak tahun 1973, oleh SD Humardani, dibuka Arah Studi Pedalangan, yang khusus memperdalam seni pedalangan. Penetapan nama arah studi ini untuk mengantisipasi kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar tidak mendirikan jurusan baru.

Satu-satunya tujuan pendidikan di arah studi ini lebih ditujukan sebagai sarana menyiapkan mahasiswa untuk menjadi seniman yang handal. Program kesarjanaan dianggap belum terlalu mendesak untuk dibuka. Asumsinya adalah seniman kreatif di Indonesia sangat diperlukan. Berkaitan dengan itu, mahasiswa memperoleh pengetahuan dan melaksanakan praktik pakeliran yang diampu oleh para empu dalang pilihan, seperti Ki R. Sutrisna (Klaten), Ki Gunamiharjo (Wonogiri), Ki Sumardi Madyacarita (Surakarta), Ki Samsujin Prabaharjana (Surakarta), Ki Darsamartana (Surakarta), Ki Naryacarita (Kartasura), Ki Catur Tulus (Kartasura), Ki Pringgasatata (Boyolali), Ki Suratna (Surakarta), Ki Sangkana Ciptawardaya (Yogyakarta), dan Ki Sukarno (Sentolo, Kulonprogo). Mahasiswa juga diwajibkan melakukan penggalian dan penjelajahan seluas-luasnya dalam dunia pedalangan. Mereka kerap kali dianjurkan dan difasilitasi untuk melaksanakan interaksi intens dan menyerap kemampuan para dalang sepuh secara langsung dari berbagai daerah.

System pembelajaran di ASKI Surakarta, waktu itu, masih merupakan lanjutan dari cara-cara sebelumnya, yaitu menirukan serta praktik mandiri. Para mahasiswa diwajibkan untuk menguasai teknis pakeliran secara tuntas. Hal ini penting sebagai modal dasar bagi para tunas dalang yang akan mengembangkan dunia pakeliran. Dan ini dapat diberlakukan juga bagi cabang seni tradisi lain; karawitan dan tari misalnya. Agar tidak terjebak pada niat untuk bercerita tentang sejarah lembaga pembelajaran dalang, maka fokus tulisan perlu dikembalikan memotret pada proses regenerasi dalang. Ternyata berbagai cara yang selalu dicoba-cobakan di beberapa lembaga pendidikan dalang, sampai sekarang, belum menunjukkan adanya hasil yang signifikan. Artinya, produk atau lulusan dari sejumlah lembaga pembelajaran pedalangan sekarang nyaris belum kalau tidak boleh disebut dengan sama sekali tidak dapat menjawab tantangan zaman.

Para dalang sekarang termasuk para lulusan berbagai lembaga pendidikan pedalangan sebagian besar tidak sekedar melayani, tetapi ada kecenderungan sangat memanjakan penonton. Padahal tidak semua penonton wayang memiliki bekal apresiasi yang cukup dalam jagat wayang. Maka, penulis tidak dapat mengerti jika ada seorang dalang yang secara banga, bahkan pongah, mengatakan dirinya selalu sukses di setiap mendalang, di mana pun dan kapan saja. Ukurannya dalang itu adalah, pengunjung atau penontonnya berlimpah ruah sampai jutaan. Apakah dalang-dalang itu tidak mengetahui bahwa penontonnya yang berlimpah ruah tadi hanya sekedar mencari hiburan? Penonton yang datang itu hanya mengalihkan kepenatan hidupnya dengan cara melihat wayang. Dengan melihat wayang para penonton wayang berharap memperoleh hiburan dalam bentuk: lawakan konyol, jika pelu porno alias lekoh dan kemproh, wajah pesinden yang cantik, atau dapat menyaksikan ketrampilan dalang dalam menggerakkan wayang secara atraktif akrobatik. Mereka tidak memerlukan garapan alur cerita yang dramatik, tidak membutuhkan sanggit-sanggit yang rumit, tidak menginginkan keindahan bahasa serta sastra yang lungit, dan tidak menghendaki adanya sajian gending yang edipeni.

Kenapa demikian? Masyarakat kita terlalu jenuh terhadap hal-hal yang bersifat serius. Masyarakat kita sekarang terlalu sering menangkap lihatan dan dengaran yang serba duniawi materialistik. Budaya kita sudah terlanjur terkontaminasi oleh gerakan-gerakan yang bersifat instan. Terngiang dalam benak penulis, wejangan H. Boedihardjo (mantan menteri penerangan yang juga mantan Ketua SENA WANGI) yang mengatakan bahwa: Semestinya dalang memang harus melayani penonton, tetapi tidak selalu memanjakannya. Nasib wayang ke depan bukan terletak pada lancarnya regenerasi saja, tetapi juga kepedulian para dalang senior terhadap nilai-nilai yang dikembangkan dalam pakeliran. Regenerasi tidak berarti jika para dalang sendiri tidak memberikan pencerahan hidup bagi masyarakatnya. Masyarakat perlu mendapatkan apresiasi kreatif positif terhadap keadiluhungan wayang. Ciri kreatif bukan sekedar kebaruan bentuk, tetapi juga kebaruan nilai dalam memperkaya pengalaman rohani yang wigati. Di balik itu para dalang ketakutan tidak laku, jika tidak memanjakan masyarakat penontonnya. Memang, mereka pantas hdup, sebab tidak ada yang menyantuni para dalang. Masalahnya adalah, apakah layak disebut hidup jika diperoleh dengan cara memperdagangkan racun-racun yang mematikan? Sangat berbahaya jika sajian pakeliran yang digemari khalayak, yang selalu dimanjakan itu, serendah apa pun selera mereka, justru dianggap contoh paling baik oleh generasi muda dalang.

Penerusan pakeliran tidak dilandasi oleh kepekatan kreatif dalam mengugkap masalah moral, akhlak, dan atau budi pekerti, pelan-pelan tetapi pasti, akan membunuh sendiri dunia wayang. Meski sekarang pertunjukan wayang merupakan satu-satunya seni tradisi yang masih mendapat dukungan masyarakat luas dibandingkan dengan yang lain, dapat saja akan bernasif sama. Seperti halnya tobong-tobong wayang orang, ketoprak, ludruk, Aneka Ria Sri Mulat, dan seni pertunjukan rakyat yang lain, ibarat hidup tidak mati pun belum lantaran para seniman pendukungnya kurang cerdas di dalam mengantisipasi perkembangan zaman. Kebesaran seorang dalang, bahkan seniman apa pun, tidak sangat bergantung pada jenis atau tingkat kependidikannya.

Kebesaran nama Ki Nartasabda, Ki Anom Suroto, Ki Gandadarman, dan Ki Manteb Soedharsono, bukan karena tingkat kependidikannya, tetapi karena keuletannya dalam menangkap fenomena hakiki masyarakat. Demikian pula halnya dengan kebesaran nama Ki Panut Sosro Dharmoko dan Ki Purbo Asmoro, bukan karena lulus dari Konservatori Karawitan Indonesia, ASKI, atau mengantongi ijazah magister humaniora Universitas Gadjah Mada. Akhirnya, sudah sepantasnya jika sekolah, sanggar, atau tempat pembelajaran dalang sekarang sangat kekurangan peminat masuk. Statistik minat masuk ke PDMN, HABIRANDHA, Pawiyatan Keraton Surakarta, Jurusan Pedalangan ASGA Surakarta, SMKN 8 Surakarta, SMKN 9 Surabaya, ISI Yogyakarta, ISI Denpasar, dan juga ISI Surakarta menunjukkan tanda-tanda penurunan. Lembaga-lembaga pembelajaran dalang itu wajib memperluas jaringan untuk memberikan karya-karya apresiatif terhadap masyarakat luas. Meski, dalang itu tidak dapat dicetak dalam sebuah lembaga yang paling lengkap fasilitasnya dan bergensi sekalipun.
Keberhasilan calon dalang sangat bergantung pada pengalaman batin dalam pengembaraan serta kesungguhannya dalam berkontemplasi kekaryaan. Masa kejayaan dalang terbatas pada masa produktifnya, bukan sepanjang usianya. Telah banyak terbukti dalam lapangan bahwa kehebatan para seniman cilik tidak menjamin akan terbawa sampai usia dewasa. Oleh sebab itu, para orang tua dalang bocah, siapa pun namanya, jangan terlalu bangga kepada anak-anaknya yang sekarang terkenal di masyarakat. Apa kabar Chica Kuswaya, Desi Arisandi, Josua, Darmadi, Suparsih, dan para bintang cilik yang pernah memiliki ketenaran puncak di masyarakat, setelah kini, mereka berusia dewasa? Mereka hilang bersama dengan harta yang pernah terkumpul. Mudah-mudahan prediksi penulis ini 100 % meleset.
*Surakarta, medio Oktober 2010 jam 9:44

Upacara Ruwatan dalam Masyarakat Jawa Sekarang

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 18.50 0 komentar

Di masa sekarang, disebabkan oleh pengaruh perkembangan penalaran masyarakat dan semakin mantab keyakinannya terhadap agama-agama modern, mengakibatkan penyelenggaraan upacara ruwatan dianggap sesuatu yang tidak perlu lagi, mubadzir, pemborosan, tahayul, dan sebagainya.  Sebaliknya, masih ada anggapan bahwa upacara ruwatan tetap relevan, meskipun tergolong masyarakat elite yang sehari-harinya telah bergaya hidup modern dan tinggal di kota-kota besar.

            Di masa lampau, upacara ruwatan dianggap sebagai wahana pembebasan para sukerta, yaitu anak-anak yang sejak lahir dianggap membawa kesialan¾tidak suci, penuh dosa¾serta orang-orang yang berbuat ceroboh.  Anak sukerta dan/atau orang yang ceroboh itu dipercaya akan menjadi mangsa Batara Kala, oleh sebab itu perlu diruwat.  Pantas dipertanyakan, kenapa anak-anak sukerta yang lahir di luar kemauannya itu oleh orang tuanya dianggap sebagai pembawa sial?  Dengan tidak mengusik keberadaan mitos lama tentang arti pentingnya upacara ruwatan bagi insan yang digolongkan orang sukerta, makalah ini mencoba membahasnya atas dasar penalaran yang bersumber dari pengamatan terhadap pelaksanaan beberapa upacara ruwatan di berbagai tempat.

Berdasarkan ceritera pedalangan, Batara Guru berkelana berdua dengan isterinya, Dewi Uma, di atas gigir lembu Andini, lahirlah Batara Kala akibat pembuahan sperma Batara Guru yang tercebur ke laut, sebab tidak mampu menahan birahi terhadap kecantikan Uma, istrinya,.  Saya menangkap adanya pendidikan moral yang tersirat (berkaitan dengan pendidikan seks) dalam cerita itu, yaitu: orang yang beradab tidak selayaknya melakukan sanggama di atas kendaraan, apalagi memiliki jabatan tertinggi dan sangat terhormat seperti Batara Guru.  Artinya, jika sese-orang tidak mampu menahan birahi dan dimanjakan di sembarang tempat, akan melahirkan bocah yang selalu membuat durhaka kepada siapa saja, seperti Batara Kala.

Munculnya tokoh-tokoh dewa dalam pertunjukan wayang, termasuk dalam ruwatan, sering dianggap satu ungkapan kemusrikan, maka upacara ruwatan dengan menggunakan wayang oleh masyarakat Islam tertentu yang mengharamkan.   Padahal Batara Guru dan dewa-dewa yang lain, oleh para dalang dalam jagat pakeliran, hanya dipandang sebagai tokoh-tokoh ceritera semata. Meskipun  menggunakan nama-nama seperti yang dijadikan panutan agama Hindu, seperti: Syiwa, Brama, dan Wisnu tetapi karakternya jauh berbeda dengan image penganut agama Hindu.  Justru para dewa, dalam pertunjukan wayang kulit di Jawa sekarang, kecuali Sang Hyang Wenang dan Dewa Ruci, sering dilecehkan oleh para dalang.  Bahkan dalam silsilah wayang di Jawa, dewa-dewa merupakan anak keturunan Adam, kedudukannya tidak lebih tinggi dari tokoh-tokoh wayang yang lain.  Dalam sejumlah lakon wayang, sering terjadi para dewa justru tidak dapat mengatasi masalah yang dihadapi, penyelesaiannya terpaksa harus dibantu ksatria pilihan.

            Ada beberapa pendapat tentang latar belakang perlunya upacara ruwat dengan me-manfaatkan pertunjukan wayang.  Salah satu yang menarik adalah pendapat Ki Naryacarita (dalang senior dari Windan, Kartasura, Sukoharjo) yang mengatakan bahwa upacara ruwatan melalui pertunjukan wayang sebenarnya hanya sebagai sarana pendidikan moral bagi anak-anak.  Menurut Ki Naryacarita, bila orang tua mampu mendidik sendiri kepada anak-anaknya yang tergolong sukerta, upacara ruwatan dengan sarana pertunjukan wayang tidak diperlukan lagi.  Pernyataan ini sering diungkapkan langsung oleh Ki Naryacarita saat mendalang ruwatan. 

            Anak-anak tunggal (ontang-anting) digolongkan sukerta kemungkinan menjadi anak nakal sangat besar, sebab pada umumnya anak tunggal selalu dimanjakan oleh keluarganya.  Meskipun diakibatkan oleh program KB (Keluarga Berencana), anak yang hanya berjumlah dua (kembar, dhampit, kembang sepasang, dan kedhana-kedhini) berpotensi menjadi nakal, sebab sering terjadi kedua orang tua (ayah da ibu) berpihak kepada salah satu anak.  Anak dalam jumlah tiga (sen dang kapit pancuran, pancuran kapit sendang, banteng ngunda jawi, ngungggah-unggahi, tri purusa, serta tri wati) anak yang memiliki jenis berbeda dengan kedua saudaranya potensi untuk menjadi anak nakal sangat besar. Kemungkinan anak yang jenis kelaminnya berbeda dengan saudara-saudaranya (ngijeni) ini paling dimanjakan oleh keluarga.

Saya tidak mampu membahas kira-kira apa yang menjadi penyebab keluarga yang memiliki 4 orang anak (srimpi atau sramba) dan 5 orang anak (pendawi atau pendawa) yang berjenis kelamin sama tergolong juga anak sukerta?   Kemungkinan besar adalah anak-anak yang berkelamin sama dalam jumlah itu berpotensi mudah sekali cekcok, gampang membuat kelompok yang terpisah yang saling berpihak pada kelompoknya.  Secara kebetulan dalam cerita wayang, nasib Pandawa (Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa) meskipun selalu rukun, tetapi nasibnya tidak pernah sepi dari masalah-masalah besar.  Perang Baratayuda memang dimenangkan Pandawa, tetapi seluruh anaknya menjadi korban dan mereka tidak dapat menikmati kemenangannya.

Istilah ‘kala’ dalam Bahasa Jawa dapat juga berarti ‘waktu,’ dalam konteks budaya dapat ditafsirkan bahwa siapa saja yang tidak mampu mengatur waktu dengan baik akan menghadapi bahaya besar, termasuk mengatur waktu untuk mendidik anak-anak berpotensi nakal seperti yang diuraikan pada alinea-alenia sebelumnya.  Disebabkan oleh kharismanyalah, maka dalang diberi kepercayaan untuk mendidik anak-anak, yang memiliki potensi nakal, melalui pertunjukan wayang. Dengan media wayang diharapkan anak-anak sukerta dapat mendapat berbagai ajaran moral, meskipun secara simbolik dan/ atau tersamar.

            Penalaran Ki Naryacarita itu, bahwa pertunjukan wayang ruwatan sebagai sarana pen-didikan moral anak, kiranya dapat dikembangkan terhadap orang-orang sukerta yang lain, yaitu orang-orang yang ceroboh dalam mengerjakan sesuatu hal¾merobohkan alat menanak nasi (dandang), mematahkan alat pelumat ramuan jamu (pipisan), membuang sampah di waktu malam, dan sebagainya¾yang juga harus diruwat.   Mereka (orang-orang ceroboh) itu juga tergolong menjadi jatah (mangsa) Batara Kala.  Tersirat satu pelajaran bahwa setiap orang harus dapat mengatur waktu dengan baik; tidak terburu-buru, selalu bertindak dan berperilaku hati-hati dalam mengerjakan segala hal, agar menghasilkan sesuatu secara optimal, tidak merusakkan alat-alat, serta selamat.

            Ada sinyalemen, bahwa latar belakang munculnya upacara ruwatan dengan pergelaran wayang kemungkinan atas akal-akalan (inisiatif atau gagasan) para dalang di masa lampau.  Kita semua mahfum bahwa profesi dalang memiliki kharisma yang tinggi di masyarakat pendukungnya. Oleh sebab itu, di masa lampau, upacara ruwatan melalui pertunjukan wayang dimonopoli oleh para dalang yang benar-benar memiliki geneologi vertikal (keturunan) dalang.  Besar kemungkinan bahwa upacara ruwatan menggunakan pertunjukan wayang merupakan taktik agar para dalang (meskipun sudah lanjut usia) tetap mampu menyangga hidupnya sendiri, tanpa harus merepotkan anak dan cucunya.   Beberapa kelengkapan sesaji upacara ruwatan¾yang pada akhir pertunjukan menjadi milik dalang¾merupakan modal bagi seseorang untuk mengembangkan pertanian dan peternakan. Sinyalemen ini dibantah oleh Ki kesdik Kesdalamana (Klaten), sebab di daerah sekitarnya, banyak dalang senior menganjurkan para keluarga miskin yang menyelenggaran ruwatan untuk meminjam kelengkapan sesaji yang tidak dimiliki.

            Ada sinyalemen lain tentang asal-usul penyelenggaraan upacara ruwatan dengan pertunjukan wayang dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa anak bagi orang tua merupakan alat produksi keluarga.   Sehingga, anak yang jumlahnya kurang dari enam orang, harus diruwat.  Andai pandangan ini benar tentu saja upacara ruwatan sekarang menjadi tidak relevan, terlebih-lebih setelah adanya program KB.   Mestinya, anak yang jumlahnya lebih dari tiga orang harus diruwat.  Ada dalang Majakerta, dalam pakelirannya, Batara Kala berucap : . . . ‘kabeh bocah sukerta mau dadi mangsaku, kejaba sing wong tuwane padha melu KB’ (semua anak sukerta tadi menjadi mangsaku, kecuali yang orang tuanya mengikuti program KB).

            Penyelenggaraan ruwatan dapat dipandang sebagai bentuk upaya pelestarian, peng-agungan, dan pengembangan budaya tradisional.  Yang menjadi masalah adalah, bagaimana wujud serta apa yang menjadi motivasi penyelenggaraan?  Sangat disayangkan terhadap wujud pertunjukan wayang ruwatan saat ini, sebagian besar, hanya menekankan segi hiburan bila dibandingkan dengan sisi ritusnya.  Akhir-akhir ini banyak upacara ruwatan yang dilakukan para dalang, termasuk dalang senior, sangat menonjolkan humor, bahkan humor yang pornografi seperti yang sering saya lihat dalam pertunjukan wayang biasa, bukan ruwatan. Jelas keagungan dan kekhususan upacara ruwatan menjadi pudar, bila dalang tidak mampu mengekang diri dari ambisi menghibur. Saya berpendapat bahwa sajian pertunjukan wayang ruwatan harus dibedakan dengan pertunjukan wayang biasa.

            Saya juga menangkap satu gejala yang tidak sehat dalam penyelenggaraan ruwatan, artinya sudah menyimpang dari azas semula. Gejala itu adalah motivasi penyelenggaraan wayang ruwatan di berbagai kota besar yang saya amati.  Saya tidak pernah mendapat jawaban yang meyakinkan dari pihak bocah sukerta, bagaimana perbedaan kondisi mental mereka sebelum dan sesudah mengikuti ruwatan?  Pada umumnya, mereka menjawab sangat terpukau (merinding dan angker) pada saat-saat, secara simbolik, dibebaskan dari sukerta oleh dalang. Yang merasa dari suatu batin mencekam, lebih banyak dirasakan oleh para orang tua para bocah sukerta. Kelihatannya, yang merasa terbebas dari himpitan dosa justru para orang tua, bukan bocah sukertanya.
            Akhirnya, nasib kelangsungan wayang ruwatan akan dibawa kemana?  Meskipun wayang itu pada prinsipnya memiliki potensi yang netral¾dalam arti dapat diarahkan kemana saja serta dimanfaatkan untuk kepentingan apapun¾secara moral masyarakat pedhalangan dan/atau  pe-wayangan (dalang, peneliti, pengamat, kritikus dan sebagainya) secara moral tetap memiliki tanggung jawab besar terhadap eksistensinya, dalam hal kreatitas serta kualitas.  Dengan demi-kian tidak hanya asal-asalan; asal beda, asal laku, asal dapat duit, dan tentu saja tidak hanya asal eksis dan asal laris.

Seni Karawitan di Desa Soran

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 18.44 0 komentar

Seni Karawitan di Soran sudah sejak lama ada terutama dipengaruhi oleh keberadaan dalang kondang pada era 80-an yaitu Ki Kesdik. Masyarakat berkeinginan untuk bisa terlibat dalam mengiringi wayang, namun karena kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh warga Soran belum mencukupi sehingga kurang percaya diri untuk terlibat mengiringi wayang beliau.

Warga kemudian bisa berharap dengan adanya gamelan di Yayasan Soran yang dibeli oleh keluarga dr. Wirjanto untuk bisa digunakan oleh warga dengan tujuan memelihara seni dan budaya sekaligus untuk meramaikan rumah di Yayasan Soran.

Pada tahun 2007 warga yang bisa berlatih tidak hanya datang dari Soran, namun juga dari pedukuhan lain, bahkan dari desa lain. Kemudian warga yang berlatih ini membentuk kelompok yang dinamakan “Dewi Sekarso” yang dibina oleh Ki Kasim.

Model-model Bentuk Pembaruan Pedalangan Jawa

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 18.39 0 komentar

MODEL PERTAMA

Pembaruan pedalangan model pertama ini lebih digerakkan oleh semangat sosial dan kulturalnya. Masyarakat dan budayanya selalu dipakai oleh penggarap dan/atau dalang penyaji, sebagai sarana utama dalam memahami diri sendiri; dalam merefleksi hasratnya dan saat memandang keberadaannya. secara teknis sajian pakeliran selalu berorientasi pada ukuran masa lampau.

Masyarakat pendukung cara atau model yang pertama ini biasanya mendambakan kemapanan, sudah barang tentu menunjukkan sikap 'anti' terhadap segala bentuk pembaruan; meskipun sebenarnya atau pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi dalam dunia pedalangan. artinya, sikap melarang terjadi pembaruan itu hanya terdapat di dalam buku-buku atau wacana diskusi antar masyarakat pedalangan saja.

. . . Faktor penyimpangan dan pembaharuan rupanya dipandang mengandung risiko bagi keseimbangan, atau dengan perkataan lain hal itu mengancam keutuhan tradisi yang tercipta (Sartono Kartodirdjo dkk. 19787 ; 71).

Salah satu anggota masyarakat golongan yang fanatik terdapat pakem ini diwakili oleh A. Seno Sastroamidjojo, seperti dalam pernyataannya demikian:

. . . sang dalang DILARANG merubah sesuka hatinya sendiri (sewenang-wenang) rangka, djalannja dan maksud pertundjukan wajang kulit. Satu dan jang lain harus sesuai dengan apa jang telah ditetapkan dalam "pakem", yaitu sebuah kitab (tjatatan atau daftar) dalam mana tercantum pelbagai peraturan mengenai bentuk dan djalannya tjeritera pada suatu pertunjukan wajang kulit, boneka-boneka jang bagus dipakai, lagu-lagu gamelan jang menghantarkan, dan lain-lain (1956:54--55).

Sikap menolak terhadap segala bentuk pembaruan pertunjukan wayang ini pada umumnya hanya diucapkan oleh sekelompok masyarakat yang beraliran konservatif serta tidak mengamati langsung kehidupan dunia pertunjukan wayang sebenarnya. Mereka itu lazimnya para guru dalang, pengamat, dan/atau penggemar wayang yang tidak melihat kenyataan yang terjadi dalam dunia pedalangan, bahwa betapa kecil dan lambannya seniman (dalang)--sadar atau tidak--selalu ingin tampil berbeda dengan yang sudah-sudah atau sebelumnya. Meskipun lajunya sangat lamban dan setapak demi setapak tetapi selalu ada pembaruan dan/atau pergeseran pedalangan.

Pembaruan wujud pedalangan yang dilakukan dengan cara setapak demi setapak ini lebih banyak terjadi pada golongan masyarakat tradisional, agraris, dan bahkan feodalistik. Seirama dengan watak dasar dari golongan masyarakat ini, pembaruan yang terjadi lebih serasi dengan perubahan alam yang evolutif. Dengan demikian lazimnya tidak memerlukan satu konsep yang jelas, kecuali harus taat pada pakem yang telah dilegitimasi keraton.

Perlu diketahui bahwa di masa lampau kedudukan pakem memang sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh wibawa keraton, sebagai elite penyangga pakem, sangat kuat pengaruhnya dikalangan masyarakat agraris/feodalis. Pengingkaran terhadap konvensi dikawatirkan dapat menimbulkan kegelisahan-kegelisahan bahkab kegoncangan. Bentuk pertunjukan pedalangan yang mapan ini dapat dilacak pada rekaman-rekaman para dalang pewaris pakem (generasi 1950-an); seperti Ki Pujasumarto (Klaten), Ki Suratno Gunawiharja (Wonogiri), Ki Wignyasutarna (Surakarta), dan Ki Gitosewoko (Jakarta).

Mereka ini pada umumnya generasi pertama dalang gaya keraton yang kena "pengaruh langsung" dan/atau pernah duduk di bangku sekolah pedalangan yang diselenggarakan oleh keraton atau komunitas pendukungnya. Sisa-sisa gaya pedalangan seperti ini dapat dirunut pada bentuk-bentuk pakeliran yang disajikan oleh para dalang senior seperti Ki Panut Darmoko (Nganjuk), Ki Timbul Hadiprayitno (Yogyakarta), Ki Kesdik Kesdolamono (Klaten), Ki Gito Purbocarito (Banyumas), dan Ki Wajiran Gondowarongko (Boyolali) serta Ki Anom Suroto (Surakarta) pada tahun 1970-an.

Peluang pembaruan yang terjadi dalam model pertama ini sangat terbatas, itu pun senantiasa dalam bingkai "adiluhung".

Adiluhung sering diterjemahkan ke dalam kata-kata yang arkais, gendhing-gendhing yang melankolis, alur garapan lakon yang lurus, karakter wayang tipologis, sabet yang etis dalam arti sopan penuh dengan udanagara dan serba mapan (establish). Udanagara sendiri sering ditafsirkan sebagai bentuk ekspresi dari kerja pikir (penalaran) sederhana dan/atau tatakrama (etiket) priyayi masa lampau.

Model pembaruan pedalangan seperti yang pertama ini memandang pakem pedalangan sebagai sesuatu yang sejajar dengan peraturan perundang-undangan, biasanya lebih dipusatkan pada pedoman-pedoman teknik pergelaran wayang; meliputi teknik penggunaan alur lakon, repertoar sulukan, repertoar gendhing, dan bahasa klise (basa pinathok) dalam wacana pakeliran; termasuk di dalamnya ketentuan penggunaan vokabuler (kosa kata) dan strata bahasa baku. Dengan demikian model pertama ini, dapat disimpulkan bahwa orientasinya lebih pada segi "bentuk". Dengan mudah, secara indrawi, dapat dinikmati langsung melalui bentuk-bentuk phisik; "ngrawit," pertama ini sophistikasi bentuk terlihat sangat menonjol di semua medium pertunjukan wayang (bahasa, gerak, garis, suara, dan konturnya); meskipun mungkin untuk ukuran orang sekarang dirasa terlalu bertele-tele dan tidak ekpresif.

MODEL KEDUA

Model pembaruan kedua ini lebih digerakkan oleh semangat keseimbangan antara kecenderungan individu. Segala bentuk ungkap pedalangan yang akan ditawarkan harus disikapi sebagai citarasa bersama dengan masyarakat dan budayanya. Secara teknis orientasi model ini lebih ditujukan kepada hal-hal yang aktual dengan masa kini atau sekarang.

Pembaruan yang terjadi di dunia pedalangan berdasarkan model kedua ini sudah lebih longgar apalagi dibandingkan dengan model yang pertama. Hal ini dapat dimengerti, sebab pakem sudah dipahami sebagai sesuatu yang tidak mutlak diikuti, dapat berubah. Pada dasarnya setiap zaman serta setiap komunitas pasti memiliki pakem, dalam arti referensi, sendiri-sendiri; meskipun tidak harus tertulis. Pembaruan sikap berpikir ini besar kemungkinan disebabkan oleh memudarnya wibawa keraton di masyarakat pendukung pedalangan.

Pekem yang ada sudah mulai tidak ketat-ketat ditaati oleh para dalang. Artinya, dalang secara bebas dapat mengacu sebagian saja atau salah satu dari sekian ketentuan yang ada ladam pakem yang dianut. Pembaruan dapat pula berupa bentuk percampuran serta modivikasi dari sejumlah subgaya dan/atau tradisi pedalangan yang ada. Percampuran pakeliran gaya kerakyatan dan keraton dapat digolongkan pada model yang kedua ini. Dalam pakeliran, model ini dapat dilihat pada pertunjukan wayang yang disajikan para dalang populer sekarang pada umumnya. Kaitannya dengan model kedua ini, yang kayak diperhatikan, adalah

1. Masih menggunakan peralatan gamelan--baik yang ber-laras pelog maupun slendro atau keduanya--dan tetap menggunakan teknik-teknik garap karawitan;

2. Masih menggunakan geneologi (silsilah), nama dan/atau tokoh-tokoh wayang; serta

3. Masih menggunakan pola susunan adegan yang menjadi konvensi pedalangan yang berlaku.

Model yang kedua ini sering terungkap dalam pembicaraan bahwa "yen ndhalang mbok aja nganti metu saka kelir" (artinya, apabila menyajikan pertunjukan wayang jangan sampai jauh menyimpang dan/atau keluar dari pakeliran sebagai sarana ungkap etika dan estetika).

Konsep dasar pertunjukan adalah azas mungguh--penuh keselarasan, keseimbangan, dan/atau keserasian--yaitu keseimbangan, antara wadah dan isi, antara fungsi tuntunan dan tontonan, antara konvensi dan inovasi, antara mutu dan kebutuhan pasar atau selera publik. Dalam perwujudannya, inovasi pakeliran dengan model kedua ini, dapat dilacak pada rekaman pertunjukan wayang garapan Ki Nartosabda atau ki Mantep Soedarsono. Dengan demikian keadiluhungan -- meskipun dalam wujud yang baru--masih selalu terjaga. Secara konsep hal ini gampang diungkap, seakan-akan mudah diamati, tetapi dalam kenyataan sulit. Hal ini disebabkan oleh variasi yang ada cukup banyak sesuai dengan kekuasaan wawasan serta tingkat kemampuan para seniman peng-garapnya.

Bentuk pembauran pakeliran yang dipelopori SD. Humardani sejak 1950-an, dan sekarang lazim disebut dengan pakeliran padat, masih menggunakan konsep mungguh seperti yang berlaku dalam model yang kedua ini; meskipun mungkin bentuk lahirnya sering digarap mengrusak pakem oleh sejumlah dalang senior saat itu. Orientasi pakeliran padat lebih kepada proses kreatif serta hasil ekspresinya, bukan pada teknik sajian semata-mata. Dengan demikian durasi waktu sudah tidak menjadi penting, sebab pusat perhatiannya pada keutuhan sajian, kepadatan garapan isi dan kesesuaianya dengan wadah, yang "wos," yang inti, dan yang terpenting atau paling wigati adalah berguna bagi kehidupan kemanusiaan yang utuh; ya lahirnya, ya batinnya.

MODEL KETIGA

Model pembaruan pedalangan ketiga ini lebih didorong oleh spirit individual. Dengan demikian ragam ekspresinya lebih majemuk; kompetisi terbuka tidak dapat dihindari. Setiap ungkapan yang ditawarkan dapat dilegitimasikan secara massal. Orientasi teknik dan isinya ke masa depan yang harus serba baru, kendalanya akan berhadapan dengan masyarakat dan budaya transisional; yang nota bene belum siap benar dalam berhadapan dengan sesuatau yang serba baru itu.

Pembaruan pakeliran dengan model ketiga ini seakan-akan sudah tidak mempedulikan lagi adanya konvensi pedalangan atau pakem yang mana pun. Para penggarap pertunjukan wayang memandang semua prabot pakeliran--repertoar sulukan, repertoar gending, repertoar lakon, dan figur-figur wayang--yang ada hanya sebagai sarana ungkap; boleh dipakai untuk apa saja dalam pertunjukannya. Pada model ketiga ini para seniman bekerja secara bebas, berbagai kemungkinan ekspresi dijelajahi; medium pakeliran selalu diberlakukan sebagai alat ungkap semata.

Model ketiga dalam pembaruan pakeliran ini seolah-olah telah mengabaikan segala macam norma yang berlaku; baik etika maupun estetika. secara ekstrim ada seorang dalang dari Semarang di dalam sebuah sarasehan pedalangan di sheraton hotel Surakarta, beberapa bulan yang lalu, mengatakan bahwa: "Pertunjukan wayang, sebagai karya seni, menurut saya tidak dapat dibingkai oleh apa pun, termasuk Pancasila; yang paling penting laku dan masyarakat mau menerima."

Dalam perwujudannya, bentuk pembaruan ketiga ini dapat dilihat pada pakeliran layar lebar Sandosa (STSI Surakarta), wayang Ukur (Kasman--Yogyakarta), dan pakeliran model "pantap"

dengan dua layar yang digelar setiap tanggal 16 malam di halaman kantor Gubernur Jawa Tengah di Semaranng. Ketiga contoh model pembaruan cara ketiga ini wujudnya berbeda; yang pertama dan kedua berorientasi pada penjelajahan ekspresi seni, sedangkan yang terakhir lebih berorientasi pada hiburan bagi khalayak umum. Wujud yang berbeda demikian ini sebenarnya juga akan didapati pada model-model yang pertama dan kedua.

Sabet

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 18.37 0 komentar

Sabet, dalam istilah pedalangan gaya Surakarta secara umum akan menunjuk kepada gerakan wayang yang sedang berperang. Sabet juga sering diberi akhiran an sehingga menjadi kata kerja "sabetan". Suatu contoh pada kalimat "Wah Ki Manteb Sabetane apik" jelas menunjukan kepada kepiawaian seorang Dalang dalam hal memainkan wayang. Di dalam Sabetan sendiri ada beberapa istilah misalnya; prapatan, jeblosan,tebakan, sikutan, samberan, getak, ngancap,junjung, banting, dupak, dugang dan lainnya.

Penguasaan sabet yang bagus oleh seorang Dalang akan sangat membantu dalam pergelarannya, karena penyajian suatu lakon kurang sempurna hanya mengandalkan kekuatan "bermonolog". Di era sekarang pergelaran wayang semakin beraneka ragam penyajiannya dan sabet menjadi salah satu daya tarik dalam pertunjukan wayang.

Sabet yang bagus tentunya dihasilkan oleh dalang yang terampil dalam memainkan boneka wayang. Memainkan boneka wayang pada tingkat dasar biasanya dalang harus menguasai teknik "cepengan" (cara memegang wayang). Salah satunya menguasai cara memegang gapit dan tuding tokoh wayang. Sehingga jika Dalang akan mengeluarkan wayangnya di kelir tidak kerepotan dalam menata posisi tuding dan gapit untuk keperluan tertentu.

Dalang -dalang yang mempunyai teknik sabetan bagus diantaranya; Alm Ki Gondo Buwana Madiun, Alm Ki Gondo Darsono Sragen, alm. Ki Sutikno Talun, Alm Ki Kesdik Kesdalamono Klaten, Ki Manteb Soedarsono Karanganyar, Alm Ki Mulyanto Mangku Darsono Sragen, Ki Sudirman Sragen, Ki Prasetya Nayu Aji, Ki Purba Asmoro, Ki Entus Susmono, Ki Anom Dwijakangka dan masih banyak lagi.

Ruwatan Agung - 8 Maret 2004

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 18.34 0 komentar

KLATEN- Ratusan paranormal dan sesepuh kota Klaten akan menggelar acara bertajuk ''Ruwatan Ageng Klaten Tahun 2004'' di Jalan By Pass Selatan tepatnya di depan Rumah Makan Datuk Bareno, Klaten, Senin (8/3) malam nanti. Acara tersebut sengaja digelar untuk mendoakan agar Pemilu 2004 di Kabupaten Klaten sukses.

Malam itu para paranormal akan mengenakan busana Jawa lengkap dan melaksanakan prosesi ruwatan yang dipimpin dalang Ki Kesdik Kesdo Lamono. Selanjutnya, akan digelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dengan lakon Pendawa Sesaji oleh dalang Ki Joko dari Somokaton.

''Dalam acara ruwatan nanti akan dilakukan pasrah sarono ritual ruwatan, kemudian penyerahan wayang secara simbolis oleh Bupati Klaten kepada kedua dalang. Selanjutnya ruwatan akan dipimpin Ki Kesdik, dilanjutkan Ki Joko,'' kata Ketua Panitia Ruwatan Ageng, Hadi Tarmanto alias Manthuk didampingi Sekretaris panitia Sukirno Hadi kepada wartawan, Sabtu lalu (6/3).

Setelah waktu menunjukkan pukul 24.00, uba rampe ruwatan yakni sesaji dan kepala kerbau akan dilarung (ditanam) di lereng Merapi, tepatnya di sebuah pekarangan di Desa Bumiharjo, Kecamatan Kemalang. Pemilihan tempat di Bumiharjo dilakukan berdasar petunjuk yang diterima para paranormal saat nglakoni ritual khusus sebelumnya.

''Pemilihan tempat itu berdasarkan petunjuk yang diterima paranormal, sehingga saya kurang paham kenapa petunjuk untuk melarung kepala kerbau jatuh di sana,'' kata Hadi Tarmanto. Namun, dia tak menjelaskan secara rinci makna menanam kepala kerbau di pekarangan itu.

Sesaji akan dibawa ke lereng Merapi dengan kendaraan, kemudian dibawa menuju tempat pelarungan dengan iring-iringan 20 pasang putri domas, pada tengah malam. Nanti di Bumiharjo sudah ada paranormal yang menyambut untuk melaksanakan upacara pelarungan di sana.

Sementara itu, acara di Jalan By Pass akan tetap berlangsung dan dilanjutkan dengan pergelaran wayang kulit semalam suntuk. Masyarakat luas diberi kesempatan untuk datang dan menyaksikan pertunjukkan wayang.

500 Paranormal

Menurut Manthuk, panitia mengundang 500 paranormal, Muspida, tokoh masyarakat, KPU, Panwas Pemilu, Forum kades dan lurah se-Klaten, Forum Komunikasi Lintas Parpol peseta Pemilu 2004, Forum Komunikasi Lintas Agama, LSM, camat, dan para sesepuh Klaten.

''Dari acara itu diharapkan paranormal mampu menciptakan lingkungan yang positif dan bermanfaat bagi sesama paranormal dan masyarakat luas. Momentum pemilu digunakan untuk mengembangkan pengalaman spiritual sekaligus menanamkan kesadaran berbangsa dan bernegara di kalangan paranormal,'' kata Hadi Tarmanto.

Dia berharap acara berjalan dengan sukses dan tertib seperti harapan mereka agar Pemilu 2004 berjalan aman dan lancar. Semua itu bertujuan agar Klaten bisa menjadi lebih baik dan masyarakat Klaten lebih sejahtera.

WAYANG MERENTANG JAMAN : PAMERAN SEBAGAI PENGINGAT

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 18.30 0 komentar

7 November 2003, UNESCO menetapkan wayang sebagai warisan pusaka dunia yang berasal dari Indonesia: a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Penetapan tersebut pastinya-pastinya dikarenakan wayang merupakan warisan budaya adiluhung yang sarat akan nilai-nilai kehidupan. Selain juga karena seni tatah sungging dan dramaturgi pengisahannya.

Menilik ke belakang, wacana tentang wayang sebagai karya adiluhur sebenarnya sudah terlontar sejak abad ke-19 Masehi. Dr.G.A.J. Hazeu, dalam desertasinya: Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal dari kesenian asli Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak yang menggunakan bahasa Jawa, seperti kelir, blencong, cempala, kepyak dan wayang sendiri.

Seiring perkembangan jaman pertumbuhan dunia pewayangan menunjukkan kreativitas terus-menerus, yang sekaligus membuktikan adanya kemampuan beradaptasi terhadap perubahan sosio-politik dan kebudayaan. Ada kecenderungan kuat untuk membuat up to date wayang dengan meluaskan cakupan sampai perkembangan sejarah mutakhir. Lakon-lakon baru diciptakan di luar lakon klasik Mahabarata dan Ramayana untuk memenuhi kebutuhan.

Ada satu tokoh kunci dalam sebuah pagelaran wayang, yakni seorang dalang. Tentang keadiluhungan pergelaran wayang, Ir. Haryono Haryoguritno dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) mengatakan, “Suatu karya seni dapat mencapai kemahakaryaan karena ditentukan oleh manusia pelaku seni (seniman yang bersangkutan). Sang dalang”. Senawangi merupakan sebuah organisasi budaya yang didirikan untuk melestarikan serta mengembangkan wayang.

Sederet nama-nama dalang yang berupaya mengembangkan hal-hal baru dalam pementasan wayang, di antaranya adalah para dalang senior tahun 1970-an seperti Ki Panut Darmoko (Nganjuk), Ki Timbul Hadiprayitno (Yogyakarta), Ki Kesdik Kesdolamono (Klaten), Ki Gito Purbocarito (Banyumas), Ki Wajiran Gondowarongko (Boyolali) atau Ki Anom Suroto (Surakarta). Kemudian ada Ki Hadi Sugito dan Ki Manteb Soedharsono (1980-an), serta Sigit Sukasman dan  Slamet Gundono (1990-an). Slamet Gundono dikenal dengan Sanggar Wayang Suket-nya di Solo. Di komunitas ini ia melakukan revolusi terhadap dunia wayang dan pedalangan yang oleh banyak pihak dinilai sudah lama mandek. Wayang suket temuannya berada di antara dunia teori teater Barat dan tradisi pewayangan Timur.

Nah, selama sepekan, kita dapat berpartisipasi di dalam pameran. Nah memeriahkan pameran, ada beberapa kegiatan pendukung pameran, yaitu pertunjukan wayang kulit Ki Rumban, pembuatan wayang dari limbah plastik, permainan dan kuis wayang, pembuatan wayang dari kardus, diskusi panel, pertunjukan cosplay wayang, dan pertunjukan wayang kontemporer.
Dengan diresmikannya pameran “Wayang Merentang Jaman” setidaknya masyarakat dapat menikmati dan memanfaatkan museum sebagai media pembelajaran tentang khasanah budaya bangsa. Diharapkan masyarakat dapat lebih menghayati nilai-nilai budaya bangsa serta keragamannya, dan menyadari bahwa kebudayaan suatu bangsa akan mengalami perkembangan dan dinamis sehingga dapat memperkaya budaya bangsa itu, juga dapat meningkatkan apresiasi terhadap pelestarian budaya bendawi (tangible) dan budaya non-bendawi (intangible).

JADWAL KEGIATAN PAMERAN WAYANG

25-09-2012      Pembukaan pameran                                       16.00 – 18.00 WIB
                        Opening Ceremony
Pertunjukan wayang kulit Ki Rumban            19.00 – selesai
Wayang performances by Ki Rumban
26-09-2012      Pembuatan wayang dari limbah plastik          10.00 – 13.00 WIB
                        Plastic waste wayang making
27-09-2012      Permainan dan kuis wayang                           10.00 – 16.00 WIB
                        Wayang games and quiz
29-09-2012      Pembuatan wayang dari kardus                      10.00 – 13.00 WIB
                        Cardboard wayang making
30-09-2012      Pertunjukan wayang anak kolosal                   14.00 – 16.00 WIB
                        Colossal wayang performances for children
02-10-2012      Permainan dan kuis wayang                           10.00 – 16.00 WIB
                        Wayang games and quiz
04-10-2012      Diskusi Panel                                                  10.00 – 16.00 WIB
                        Panel discussion
06-10-2012      Pembuatan wayang dari kardus                      10.00 – 13.00 WIB
                        Cardboard wayang making
07-10-2012      Pembuatan wayang dari limbah plastik          10.00 – 13.00 WIB
                        Plastic waste wayang making
09-10-2012      Pertunjukan cosplay wayang                          10.00 – 16.00 WIB
                        Wayang cosplay performances
10-10-2012      Pertunjukan cosplay wayang                          10.00 – 15.00 WIB
                        Wayang cosplay performances
Pertunjukan wayang kontemporer                  13.00 – 15.00 WIB
                        Contemporary wayang performances
Penutupan pameran                                         15.00 – 16.00 WIB
                        Closing of the exhibition

*diolah dari sumber Panitia Pameran Wayang 2012

Petruk Ngadek Ratu | Dalang Ki Kusni Kesdolamono

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 18.26 0 komentar

Jumat, 11 April 2014

MAHABHARATA

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 19.54 0 komentar


    Kisah Mahabharata diawali dengan pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala. Raja Duswanta adalah seorang raja besar dari Chandrawangsa keturunan Yayati, menikahi Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa, kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat pemerintahan bernama Hastinapura. Sang Hasti menurunkan Para Raja Hastinapura. Dari keluarga tersebut, lahirlah Sang Kuru, yang menguasai dan menyucikan sebuah daerah luas yang disebut Kurukshetra. Sang Kuru menurunkan Dinasti Kuru atau Wangsa Kaurawa. Dalam Dinasti tersebut, lahirlah Pratipa, yang menjadi ayah Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan Kurawa.

    Prabu Santanu adalah seorang raja mahsyur dari garis keturunan Sang Kuru, berasal dari Hastinapura. Ia menikah dengan Dewi Gangga yang dikutuk agar turun ke dunia, namun Dewi Gangga meninggalkannya karena Sang Prabu melanggar janji pernikahan. Hubungan Sang Prabu dengan Dewi Gangga sempat membuahkan 7 anak, akan tetapi semua ditenggelamkan ke laut Gangga oleh Dewi Gangga dengan alasan semua sudah terkena kutukan. Akan tetapi kemudian anak ke 8 bisa diselamatkan oleh Prabu Santanu yang diberi nama Dewabrata. Kemudian Dewi Ganggapun pergi meninggalkan Prabu Santanu. Nama Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan pratigya, yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Hal itu dikarenakan Bisma tidak ingin dia dan keturunannya berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya.

    Setelah ditinggal Dewi Gangga, akhirnya Prabu Santanu menjadi duda. Beberapa tahun kemudian, Prabu Santanu melanjutkan kehidupan berumah tangga dengan menikahi Dewi Satyawati, puteri nelayan. Dari hubungannya, Sang Prabu berputera Sang Citrānggada dan Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, ia pergi ke Kerajaan Kasi dan memenangkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga orang puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada adik-adiknya. Karena Citrānggada wafat, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan Wicitrawirya sedangkan Amba mencintai Bisma namun Bisma menolak cintanya karena terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin seumur hidup. Demi usaha untuk menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja ia menembakkan panah menembus dada Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa kelak Amba bereinkarnasi menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu putera Raja Drupada yang bernama Srikandi. Kelak kematiannya juga berada di tangan Srikandi yang membantu Arjuna dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.

    Citrānggada wafat di usia muda dalam suatu pertempuran, kemudian ia digantikan oleh adiknya yaitu Wicitrawirya. Wicitrawirya juga wafat di usia muda dan belum sempat memiliki keturunan. Satyawati mengirim kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, untuk menemui Resi Byasa, sebab Sang Resi dipanggil untuk mengadakan suatu upacara bagi mereka agar memperoleh keturunan. Satyawati menyuruh Ambika agar menemui Resi Byasa di ruang upacara. Setelah Ambika memasuki ruangan upacara, ia melihat wajah Sang Resi sangat dahsyat dengan mata yang menyala-nyala. Hal itu membuatnya menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, maka anaknya terlahir buta. Anak tersebut adalah Drestarastra. Kemudian Ambalika disuruh oleh Satyawati untuk mengunjungi Byasa ke dalam sebuah kamar sendirian, dan di sana ia akan diberi anugerah. Ia juga disuruh agar terus membuka matanya supaya jangan melahirkan putra yang buta (Drestarastra) seperti yang telah dilakukan Ambika. Maka dari itu, Ambalika terus membuka matanya namun ia menjadi pucat setelah melihat rupa Sang Bagawan (Byasa) yang luar biasa. Maka dari itu, Pandu (putranya), ayah para Pandawa, terlahir pucat. Drestarastra dan Pandu mempunyai saudara tiri yang bernama Widura. Widura merupakan anak dari Resi Byasa dengan seorang dayang Satyawati yang bernama Datri. Pada saat upacara dilangsungkan dia lari keluar kamar dan akhirnya terjatuh sehingga Widura pun lahir dengan kondisi pincang kakinya.

    Dikarenakan Drestarastra terlahir buta maka tahta Hastinapura diberikan kepada Pandu. Pandu menikahi Kunti kemudian Pandu menikah untuk yang kedua kalinya dengan Madrim, namun akibat kesalahan Pandu pada saat memanah seekor kijang yang sedang kasmaran, maka kijang tersebut mengeluarkan kutukan bahwa Pandu tidak akan merasakan lagi hubungan suami istri, dan bila dilakukannya, maka Pandu akan mengalami ajal. Kijang tersebut kemudian mati dengan berubah menjadi wujud aslinya yaitu seorang pendeta. Kemudian karena mengalami kejadian buruk seperti itu, Pandu lalu mengajak kedua istrinya untuk bermohon kepada Hyang Maha Kuasa agar dapat diberikan anak. Atas bantuan mantra Adityahredaya yang pernah diberikan oleh Resi Byasa maka Dewi Kunti bisa memanggil para dewa untuk kemudian mendapatkan putra. Pertama kali mencoba mantra tersebut datanglah Batara Surya, tak lama kemudian Kunti mengandung dan melahirkan seorang anak yang kemudian diberi nama Karna. Tetapi Karna kemudian dilarung kelaut dan dirawat oleh Kurawa, sehingga nanti pada saat perang Bharatayudha, Karna memihak kepada Kurawa. Kemudian atas permintaan Pandu, Kunti mencoba mantra itu lagi, Batara Guru mengirimkan Batara Dharma untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahir anak yang pertama yaitu Yudistira, setahun kemudian Batara Bayu dikirim juga untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahirlah Bima, Batara Guru juga mengutus Batara Indra untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahirlah Arjuna dan yang terakhir Batara Aswan dan Aswin dikirimkan untuk membuahi Dewi Madrim, dan lahirlah Nakula dan Sadewa. Kelima putera Pandu tersebut dikenal sebagai Pandawa. Dretarastra yang buta menikahi Dewi Gandari, dan memiliki sembilan puluh sembilan orang putera dan seorang puteri yang dikenal dengan istilah Kurawa.

    Pandawa dan Kurawa merupakan dua kelompok dengan sifat yang berbeda namun berasal dari leluhur yang sama, yakni Kuru dan Bharata. Kurawa (khususnya Duryudana) bersifat licik dan selalu iri hati dengan kelebihan Pandawa, sedangkan Pandawa bersifat tenang dan selalu bersabar ketika ditindas oleh sepupu mereka. Ayah para Kurawa, yaitu Drestarastra, sangat menyayangi putera-puteranya. Hal itu membuat ia sering dihasut oleh iparnya yaitu Sengkuni, beserta putera kesayangannya yaitu Duryudana, agar mau mengizinkannya melakukan rencana jahat menyingkirkan para Pandawa.

    Pada suatu ketika, Duryudana mengundang Kunti dan para Pandawa untuk liburan. Di sana mereka menginap di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Duryudana. Pada malam hari, rumah itu dibakar. Namun para Pandawa bisa diselamatkan oleh Bima yang telah diberitahu oleh Widura akan kelicikan Kurawa sehingga mereka tidak terbakar hidup-hidup dalam rumah tersebut. Usai menyelamatkan diri, Pandawa dan Kunti masuk hutan. Di hutan tersebut Bima bertemu dengan raksasa Hidimba dan membunuhnya, lalu menikahi adiknya, yaitu raseksi Hidimbi atau Arimbi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca.

    Setelah melewati hutan rimba, Pandawa melewati Kerajaan Pancala. Di sana tersiar kabar bahwa Raja Drupada menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Adipati Karna mengikuti sayembara tersebut, tetapi ditolak oleh Drupadi. Pandawa pun turut serta menghadiri sayembara itu, namun mereka berpakaian seperti kaum brahmana.

    Pandawa ikut sayembara untuk memenangkan lima macam sayembara, Yudistira untuk memenangkan sayembara filsafat dan tatanegara, Arjuna untuk memenangkan sayembara senjata Panah, Bima memenangkan sayembara Gada dan Nakula - Sadewa untuk memenangkan sayembara senjata Pedang. Pandawa berhasil melakukannya dengan baik untuk memenangkan sayembara.

    Drupadi harus menerima Pandawa sebagai suami-suaminya karena sesuai janjinya siapa yang dapat memenangkan sayembara yang dibuatnya itu akan jadi suaminya walau menyimpang dari keinginannya yaitu sebenarnya yang diinginkan hanya seorang Satriya.

    Setelah itu perkelahian terjadi karena para hadirin menggerutu sebab kaum brahmana tidak selayaknya mengikuti sayembara. Pandawa berkelahi kemudian meloloskan diri. sesampainya di rumah, mereka berkata kepada ibunya bahwa mereka datang membawa hasil meminta-minta. Ibu mereka pun menyuruh agar hasil tersebut dibagi rata untuk seluruh saudaranya. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat bahwa anak-anaknya tidak hanya membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita.

    Agar tidak terjadi pertempuran sengit, Kerajaan Kuru dibagi dua untuk dibagi kepada Pandawa dan Kurawa. Kurawa memerintah Kerajaan Kuru induk (pusat) dengan ibukota Hastinapura, sementara Pandawa memerintah Kerajaan Kurujanggala dengan ibukota Indraprastha. Baik Hastinapura maupun Indraprastha memiliki istana megah, dan di sanalah Duryudana tercebur ke dalam kolam yang ia kira sebagai lantai, sehingga dirinya menjadi bahan ejekan bagi Drupadi. Hal tersebut membuatnya bertambah marah kepada para Pandawa.

    Untuk merebut kekayaan dan kerajaan Yudistira, Duryudana mengundang Yudistira untuk main dadu, ini atas ide dari Arya Sengkuni. Pada saat permainan dadu, Duryudana diwakili oleh Sengkuni sebagai bandar dadu yang memiliki kesaktian untuk berbuat curang. Permulaan permainan taruhan senjata perang, taruhan pemainan terus meningkat menjadi taruhan harta kerajaan, selanjutnya prajurit dipertaruhkan, dan sampai pada puncak permainan Kerajaan menjadi taruhan, Pandawa kalah habislah semua harta dan kerajaan Pandawa termasuk saudara juga dipertaruhkan dan yang terakhir istrinya Drupadi dijadikan taruhan. Akhirnya Yudistira kalah dan Drupadi diminta untuk hadir di arena judi karena sudah menjadi milik Duryudana. Duryudana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Drupadi, namun Drupadi menolak. Setelah gagal, Duryudana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Drupadi. Drupadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun Drupadi menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Drupadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna yang melihat Dropadi dalam bahaya. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.

    Drupadi yang merasa malu dan tersinggung oleh sikap Dursasana bersumpah tidak akan menggelung rambutnya sebelum dikramasi dengan darah Dursasana. Bima pun bersumpah akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya kelak. Setelah mengucapkan sumpah tersebut, Drestarastra merasa bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya, maka ia mengembalikan segala harta Yudistira yang dijadikan taruhan.

    Duryudana yang merasa kecewa karena Drestarastra telah mengembalikan semua harta yang sebenarnya akan menjadi miliknya, menyelenggarakan permainan dadu untuk yang kedua kalinya. Kali ini, siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, setelah itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan setelah itu berhak kembali lagi ke kerajaannya. Untuk yang kedua kalinya, Yudistira mengikuti permainan tersebut dan sekali lagi ia kalah. Karena kekalahan tersebut, Pandawa terpaksa meninggalkan kerajaan mereka selama 12 tahun dan hidup dalam masa penyamaran selama setahun.

    Setelah masa pengasingan habis dan sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak untuk mengambil alih kembali kerajaan yang dipimpin Duryudana. Namun Duryudana bersifat jahat. Ia tidak mau menyerahkan kerajaan kepada Pandawa, walau seluas ujung jarum pun. Hal itu membuat kesabaran Pandawa habis. Misi damai dilakukan oleh Sri Kresna, namun berkali-kali gagal. Akhirnya, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi.

    Pandawa berusaha mencari sekutu dan ia mendapat bantuan pasukan dari Kerajaan Kekaya, Kerajaan Matsya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, Wangsa Yadawa, Kerajaan Dwaraka, dan masih banyak lagi. Selain itu para ksatria besar di Bharatawarsha seperti misalnya Drupada, Setyaki, Drestadjumna, Srikandi, Wirata, dan lain-lain ikut memihak Pandawa. Sementara itu Duryudana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Kurawa sekaligus mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Kurawa. Kurawa dibantu oleh Resi Dorna dan putranya Aswatama, kakak ipar para Kurawa yaitu Jayadrata, serta guru Krepa, Kertawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sengkuni, Karna, dan masih banyak lagi.

    Pertempuran berlangsung selama 18 hari penuh. Dalam pertempuran itu, banyak ksatria yang gugur, seperti misalnya Abimanyu, Durna, Karna, Bisma, Gatotkaca, Irawan, Raja Wirata dan puteranya, Bhagadatta, Susharma, Sengkuni, dan masih banyak lagi. Selama 18 hari tersebut dipenuhi oleh pertumpahan darah dan pembantaian yang mengenaskan. Pada akhir hari kedelapan belas, hanya sepuluh ksatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu, Setyaki, Aswatama, Krepa dan Kertawarma. (Nanti diceritakan dalam kisah Bharatayudha)

    Setelah perang berakhir, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Setelah memerintah selama beberapa lama, ia menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, yaitu Parikesit. Kemudian, Yudistira bersama Pandawa dan Drupadi mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Di sana mereka meninggal dan mencapai surga. (Diceritakan dalam kisah Pandawa Seda)

    Parikesit memerintah Kerajaan Kuru dengan adil dan bijaksana. Ia menikahi Madrawati dan memiliki putera bernama Janamejaya. Janamejaya menikahi Wapushtama (Bhamustiman) dan memiliki putera bernama Satanika. Satanika berputera Aswamedhadatta. Aswamedhadatta dan keturunannya kemudian memimpin Kerajaan Wangsa Kuru di Hastinapura. (Diceritakan dalam kisah Parikesit)

 

The Dark Puspita Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review