Sabtu, 12 April 2014

Model-model Bentuk Pembaruan Pedalangan Jawa

Diposting oleh Risa Puspitarini Sabandi di 18.39

MODEL PERTAMA

Pembaruan pedalangan model pertama ini lebih digerakkan oleh semangat sosial dan kulturalnya. Masyarakat dan budayanya selalu dipakai oleh penggarap dan/atau dalang penyaji, sebagai sarana utama dalam memahami diri sendiri; dalam merefleksi hasratnya dan saat memandang keberadaannya. secara teknis sajian pakeliran selalu berorientasi pada ukuran masa lampau.

Masyarakat pendukung cara atau model yang pertama ini biasanya mendambakan kemapanan, sudah barang tentu menunjukkan sikap 'anti' terhadap segala bentuk pembaruan; meskipun sebenarnya atau pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi dalam dunia pedalangan. artinya, sikap melarang terjadi pembaruan itu hanya terdapat di dalam buku-buku atau wacana diskusi antar masyarakat pedalangan saja.

. . . Faktor penyimpangan dan pembaharuan rupanya dipandang mengandung risiko bagi keseimbangan, atau dengan perkataan lain hal itu mengancam keutuhan tradisi yang tercipta (Sartono Kartodirdjo dkk. 19787 ; 71).

Salah satu anggota masyarakat golongan yang fanatik terdapat pakem ini diwakili oleh A. Seno Sastroamidjojo, seperti dalam pernyataannya demikian:

. . . sang dalang DILARANG merubah sesuka hatinya sendiri (sewenang-wenang) rangka, djalannja dan maksud pertundjukan wajang kulit. Satu dan jang lain harus sesuai dengan apa jang telah ditetapkan dalam "pakem", yaitu sebuah kitab (tjatatan atau daftar) dalam mana tercantum pelbagai peraturan mengenai bentuk dan djalannya tjeritera pada suatu pertunjukan wajang kulit, boneka-boneka jang bagus dipakai, lagu-lagu gamelan jang menghantarkan, dan lain-lain (1956:54--55).

Sikap menolak terhadap segala bentuk pembaruan pertunjukan wayang ini pada umumnya hanya diucapkan oleh sekelompok masyarakat yang beraliran konservatif serta tidak mengamati langsung kehidupan dunia pertunjukan wayang sebenarnya. Mereka itu lazimnya para guru dalang, pengamat, dan/atau penggemar wayang yang tidak melihat kenyataan yang terjadi dalam dunia pedalangan, bahwa betapa kecil dan lambannya seniman (dalang)--sadar atau tidak--selalu ingin tampil berbeda dengan yang sudah-sudah atau sebelumnya. Meskipun lajunya sangat lamban dan setapak demi setapak tetapi selalu ada pembaruan dan/atau pergeseran pedalangan.

Pembaruan wujud pedalangan yang dilakukan dengan cara setapak demi setapak ini lebih banyak terjadi pada golongan masyarakat tradisional, agraris, dan bahkan feodalistik. Seirama dengan watak dasar dari golongan masyarakat ini, pembaruan yang terjadi lebih serasi dengan perubahan alam yang evolutif. Dengan demikian lazimnya tidak memerlukan satu konsep yang jelas, kecuali harus taat pada pakem yang telah dilegitimasi keraton.

Perlu diketahui bahwa di masa lampau kedudukan pakem memang sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh wibawa keraton, sebagai elite penyangga pakem, sangat kuat pengaruhnya dikalangan masyarakat agraris/feodalis. Pengingkaran terhadap konvensi dikawatirkan dapat menimbulkan kegelisahan-kegelisahan bahkab kegoncangan. Bentuk pertunjukan pedalangan yang mapan ini dapat dilacak pada rekaman-rekaman para dalang pewaris pakem (generasi 1950-an); seperti Ki Pujasumarto (Klaten), Ki Suratno Gunawiharja (Wonogiri), Ki Wignyasutarna (Surakarta), dan Ki Gitosewoko (Jakarta).

Mereka ini pada umumnya generasi pertama dalang gaya keraton yang kena "pengaruh langsung" dan/atau pernah duduk di bangku sekolah pedalangan yang diselenggarakan oleh keraton atau komunitas pendukungnya. Sisa-sisa gaya pedalangan seperti ini dapat dirunut pada bentuk-bentuk pakeliran yang disajikan oleh para dalang senior seperti Ki Panut Darmoko (Nganjuk), Ki Timbul Hadiprayitno (Yogyakarta), Ki Kesdik Kesdolamono (Klaten), Ki Gito Purbocarito (Banyumas), dan Ki Wajiran Gondowarongko (Boyolali) serta Ki Anom Suroto (Surakarta) pada tahun 1970-an.

Peluang pembaruan yang terjadi dalam model pertama ini sangat terbatas, itu pun senantiasa dalam bingkai "adiluhung".

Adiluhung sering diterjemahkan ke dalam kata-kata yang arkais, gendhing-gendhing yang melankolis, alur garapan lakon yang lurus, karakter wayang tipologis, sabet yang etis dalam arti sopan penuh dengan udanagara dan serba mapan (establish). Udanagara sendiri sering ditafsirkan sebagai bentuk ekspresi dari kerja pikir (penalaran) sederhana dan/atau tatakrama (etiket) priyayi masa lampau.

Model pembaruan pedalangan seperti yang pertama ini memandang pakem pedalangan sebagai sesuatu yang sejajar dengan peraturan perundang-undangan, biasanya lebih dipusatkan pada pedoman-pedoman teknik pergelaran wayang; meliputi teknik penggunaan alur lakon, repertoar sulukan, repertoar gendhing, dan bahasa klise (basa pinathok) dalam wacana pakeliran; termasuk di dalamnya ketentuan penggunaan vokabuler (kosa kata) dan strata bahasa baku. Dengan demikian model pertama ini, dapat disimpulkan bahwa orientasinya lebih pada segi "bentuk". Dengan mudah, secara indrawi, dapat dinikmati langsung melalui bentuk-bentuk phisik; "ngrawit," pertama ini sophistikasi bentuk terlihat sangat menonjol di semua medium pertunjukan wayang (bahasa, gerak, garis, suara, dan konturnya); meskipun mungkin untuk ukuran orang sekarang dirasa terlalu bertele-tele dan tidak ekpresif.

MODEL KEDUA

Model pembaruan kedua ini lebih digerakkan oleh semangat keseimbangan antara kecenderungan individu. Segala bentuk ungkap pedalangan yang akan ditawarkan harus disikapi sebagai citarasa bersama dengan masyarakat dan budayanya. Secara teknis orientasi model ini lebih ditujukan kepada hal-hal yang aktual dengan masa kini atau sekarang.

Pembaruan yang terjadi di dunia pedalangan berdasarkan model kedua ini sudah lebih longgar apalagi dibandingkan dengan model yang pertama. Hal ini dapat dimengerti, sebab pakem sudah dipahami sebagai sesuatu yang tidak mutlak diikuti, dapat berubah. Pada dasarnya setiap zaman serta setiap komunitas pasti memiliki pakem, dalam arti referensi, sendiri-sendiri; meskipun tidak harus tertulis. Pembaruan sikap berpikir ini besar kemungkinan disebabkan oleh memudarnya wibawa keraton di masyarakat pendukung pedalangan.

Pekem yang ada sudah mulai tidak ketat-ketat ditaati oleh para dalang. Artinya, dalang secara bebas dapat mengacu sebagian saja atau salah satu dari sekian ketentuan yang ada ladam pakem yang dianut. Pembaruan dapat pula berupa bentuk percampuran serta modivikasi dari sejumlah subgaya dan/atau tradisi pedalangan yang ada. Percampuran pakeliran gaya kerakyatan dan keraton dapat digolongkan pada model yang kedua ini. Dalam pakeliran, model ini dapat dilihat pada pertunjukan wayang yang disajikan para dalang populer sekarang pada umumnya. Kaitannya dengan model kedua ini, yang kayak diperhatikan, adalah

1. Masih menggunakan peralatan gamelan--baik yang ber-laras pelog maupun slendro atau keduanya--dan tetap menggunakan teknik-teknik garap karawitan;

2. Masih menggunakan geneologi (silsilah), nama dan/atau tokoh-tokoh wayang; serta

3. Masih menggunakan pola susunan adegan yang menjadi konvensi pedalangan yang berlaku.

Model yang kedua ini sering terungkap dalam pembicaraan bahwa "yen ndhalang mbok aja nganti metu saka kelir" (artinya, apabila menyajikan pertunjukan wayang jangan sampai jauh menyimpang dan/atau keluar dari pakeliran sebagai sarana ungkap etika dan estetika).

Konsep dasar pertunjukan adalah azas mungguh--penuh keselarasan, keseimbangan, dan/atau keserasian--yaitu keseimbangan, antara wadah dan isi, antara fungsi tuntunan dan tontonan, antara konvensi dan inovasi, antara mutu dan kebutuhan pasar atau selera publik. Dalam perwujudannya, inovasi pakeliran dengan model kedua ini, dapat dilacak pada rekaman pertunjukan wayang garapan Ki Nartosabda atau ki Mantep Soedarsono. Dengan demikian keadiluhungan -- meskipun dalam wujud yang baru--masih selalu terjaga. Secara konsep hal ini gampang diungkap, seakan-akan mudah diamati, tetapi dalam kenyataan sulit. Hal ini disebabkan oleh variasi yang ada cukup banyak sesuai dengan kekuasaan wawasan serta tingkat kemampuan para seniman peng-garapnya.

Bentuk pembauran pakeliran yang dipelopori SD. Humardani sejak 1950-an, dan sekarang lazim disebut dengan pakeliran padat, masih menggunakan konsep mungguh seperti yang berlaku dalam model yang kedua ini; meskipun mungkin bentuk lahirnya sering digarap mengrusak pakem oleh sejumlah dalang senior saat itu. Orientasi pakeliran padat lebih kepada proses kreatif serta hasil ekspresinya, bukan pada teknik sajian semata-mata. Dengan demikian durasi waktu sudah tidak menjadi penting, sebab pusat perhatiannya pada keutuhan sajian, kepadatan garapan isi dan kesesuaianya dengan wadah, yang "wos," yang inti, dan yang terpenting atau paling wigati adalah berguna bagi kehidupan kemanusiaan yang utuh; ya lahirnya, ya batinnya.

MODEL KETIGA

Model pembaruan pedalangan ketiga ini lebih didorong oleh spirit individual. Dengan demikian ragam ekspresinya lebih majemuk; kompetisi terbuka tidak dapat dihindari. Setiap ungkapan yang ditawarkan dapat dilegitimasikan secara massal. Orientasi teknik dan isinya ke masa depan yang harus serba baru, kendalanya akan berhadapan dengan masyarakat dan budaya transisional; yang nota bene belum siap benar dalam berhadapan dengan sesuatau yang serba baru itu.

Pembaruan pakeliran dengan model ketiga ini seakan-akan sudah tidak mempedulikan lagi adanya konvensi pedalangan atau pakem yang mana pun. Para penggarap pertunjukan wayang memandang semua prabot pakeliran--repertoar sulukan, repertoar gending, repertoar lakon, dan figur-figur wayang--yang ada hanya sebagai sarana ungkap; boleh dipakai untuk apa saja dalam pertunjukannya. Pada model ketiga ini para seniman bekerja secara bebas, berbagai kemungkinan ekspresi dijelajahi; medium pakeliran selalu diberlakukan sebagai alat ungkap semata.

Model ketiga dalam pembaruan pakeliran ini seolah-olah telah mengabaikan segala macam norma yang berlaku; baik etika maupun estetika. secara ekstrim ada seorang dalang dari Semarang di dalam sebuah sarasehan pedalangan di sheraton hotel Surakarta, beberapa bulan yang lalu, mengatakan bahwa: "Pertunjukan wayang, sebagai karya seni, menurut saya tidak dapat dibingkai oleh apa pun, termasuk Pancasila; yang paling penting laku dan masyarakat mau menerima."

Dalam perwujudannya, bentuk pembaruan ketiga ini dapat dilihat pada pakeliran layar lebar Sandosa (STSI Surakarta), wayang Ukur (Kasman--Yogyakarta), dan pakeliran model "pantap"

dengan dua layar yang digelar setiap tanggal 16 malam di halaman kantor Gubernur Jawa Tengah di Semaranng. Ketiga contoh model pembaruan cara ketiga ini wujudnya berbeda; yang pertama dan kedua berorientasi pada penjelajahan ekspresi seni, sedangkan yang terakhir lebih berorientasi pada hiburan bagi khalayak umum. Wujud yang berbeda demikian ini sebenarnya juga akan didapati pada model-model yang pertama dan kedua.

0 komentar:

Posting Komentar

 

The Dark Puspita Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review